Mudik kali ini tanpa rencana. Niatan
bantuin mama packingin baju-baju bapak mau pulang ke kampung eh malah ikutan
packing. Pas sehari yang lalu saya mengundurkan diri dari perusahaan tempat
saya bekerja dan hari ini saya ikut bapak mudik. Niatnya sih mau nyoba mudik
lewat jalur darat (naik mobil, karna kalau kereta belum ada Pulau Jawa –
Sumatera Utara).
|
Ekasitohang |
Jakarta – Medan kami tempuh 3
hari 2 malam, badan rasanya mau rontok, dengkul rasanya “engselnya longgar”. Huaaaaaaaa
gak lagi dah mudik lewat darat, apalagi perginya bareng orangtua gak ada
mampir-mampir di kota (kan bisa sekalian jalan-jalan hihihi).
Pejalanan ini kami ber-empat,
Bapak, Aku, sepupuku Darma dan keponakan Manuel. Bapak dan Darma ganti-gantian
mengemudi mobil sedangkan Aku dan Manuel ganti-ganti tidur ditengah dan di
belakang biar bisa selonjoran.
Dua tahun lalu saya terakhir pulang
ke kampung, terakhir pulang ketika oppung (nenek) dari pihak mama meninggal
dunia. Seperti biasa pemandangan yang kami lewati tetap memanjakan mata sejauh mata memandang adalah perbukita hijau
dan indahnya Danau Toba.
Tongging, Paropo dan Silalahi (Si
Tolu Huta)
Perjalanan kami adalah
mengelilingin gunung hingga ke bawah dan desa pertama yang kami lewati adalah
tanah kelahiranku, tempat ari-ariku dikubur. Udara dan hawanya terasa sejuk
dirongga dada, angin Danau Toba
begitu menyejukkan jiwa.
Dulu pikirku, tidak akan pernah
lagi ku kan mengijakkan kaki di sini karna semua Oppung sudah tidak ada dan
tidak ada alasan untukku ke sini.
Paropo
Seperti kebiasaan orang Batak
pada umumnya jika pulang kampung ada ritual yang harus dijalani yaitu ziarah ke
makam leluruh (makam keluarga) dengan menahan kerinduan kepada inang (oppung boru) dan rindu yang tak sempat
tersapaikan kepada apatutua (oppung doli) dan uyut. Berharap mereka dapat
melihat kalau kami keturunannya datang walau hanya untuk membersikan makam
mereka, karena dengan melihat dan membersihkan makam rindu yang terasa
terbalaskan.
|
Paropo |
|
Makam Oppung (Paropo) |
Pulang ke paropo terasa kurang
jika tak jalan-jalan ke danau dan sekitarnya, dengan menggandeng keponakan
tercantik kami menikmati sejuknya udara pedesaan, hingga kami sampai di salah
satu sekolah dasar di pinngir Danau. Tiba-tiba terlihat 2 anak laki-laki yang
berlomba lari ke arah bangunan yang sepertinya adalah ruang kepala sekolah dan
ruang guru, lalu mereka keluar denga membawa lonceng dan dengan semangat dan
sekuat tenaga salah seorang dari mereka memukul lonceng dengan pentungannya. Dan
belum ada 1 menit para murid sudah berlarian ke lapangan.
|
SDN di Paropo |
Yang laki-laki langsung main bola
kaki, tapi entah berapa lawan berapa mereka. Karena semua anak laki-laki yang
dilapangan berebut bola dan saling mendorong ( hahahaha), anak anak perempuan
tidak mau kalah mereka juga berlalari sekuat tenaga mencari tanah yang tidak
ada rumput dan langsung menggali tanah, saya sampe bingung apa yang mereka
lakukan dan sayapun bertanya, Dek kalian lagi ngapain ? tanyaku ke salah
seorang anak dan dia menjawab: mau maen
jolma-jolmaan kami kak. Saya bingung apa maksudnya akhirnya saya nunggu,
penasaran mereka mau main apa, setelah hampir 5 menit saya menunggu baru saya
tau mereka ternya mau main orang-orangan ( hahaha jadi bikin rumah-rumahannya
dari tanah yang dipetak-petakin). Sederhananya kebahagian bagi anak-anak di
kampung belum direnggut oleh gadget .
|
anak-anak SD yang sangat bahagia tanpa gudget |
Silalhi
Seperti kebiasaan sebelumya jika
pulang, selain harus ziarah saya juga pasti ke Silalahi, tidak pernah bosan saya
memandang indahnya Tugu Silalahi dan Tao-nya (danaunya) walaupun sudah
berkali-kali ke sini. Kali ini saya dipandu oleh ito (adik laki-laki)
sebenarnya baru kenal pas mau ke sana ternyata selain keluarga kami di sana
sudah ada marga Sitohang yang lain (hahaha soalnya dulu Sitohang hanya keluarga
kami di 3 kampung itu hahaha).Sekedar info setiap setahun sekali di Silalahi pasti ada perayaan pesta tahunan, dimana secara bergantian dari 8 keturunan Op. Silahisabungan yang akan menjadi panitian dan mendanai acara tersebut setiap tahunnya. bisanya setiap bulan November setiap tahunnya, acara pesta diadakan sehingga rata-rata semua keturunan Silahisabungan yang ada di dunia pasti pulang kampung untuk menghadiri acara ini. (dan kayaknya baru Silalahi doang yang bikin acara seperti ini, patut dicontoh nih buat marga lain, termasuk Sitohang.)
|
Tugu Silalahi |
|
Tugu Silalahi |
Urat (Pulau Samosir)
Puas menikmati keindahan kampung
si Tolu Huta, bapak mengajak kami ke kampung Sitohang, di Urat (Pulau Samosir)
perjalanan kurang lebih 5 jam. Akhirnya sampai juga di sini, ini kedua kalinya
saya ke sini tapi kalau bapak, beliau baru pertama kali ke sini. Ini adalah kampung asal kami. Pada
tahun 2010 saya kesini dengan adik-adikku. Tapi dulu saya belum tau sejarah
Sitohang hanya dengan niat mau ke kampung asal Sitohang saja kami ke sini.
Ternyata kampung Sitohang ini
sarat dengan budaya, selain ada Tugu Sitohang disini juga ada situs budaya pohon
Hariara Maranak, konon katanya pohon ini umurnya lebih dari 500 tahun, karna
pohon ini di tanam oleh cucu Oppu. Situmorang.
|
Tugu Sitohang |
|
situs budaya |
|
pohon hariara maranak |
Salaga Timbaan (Tiga Dolok)
Bapak dan yang lain pulang ke
Jakarta, saya tinggal di sini. Terasa ada yang kurang kalau saya tidak mampir
ke kampung mama, merasa berdosa jika tidak ziarah ke makam oppungku di sana. Bukan
karna hal-hal mistis yang orang pikirkan jika berbicara ziarah, tapi ini adalah
pertama kalinya saya pulang kampung setelah oppung sudah tidak ada. Saya sangat dekat dengan
oppung karena saya dulu pernah tinggal dan sekolah di sini bersama oppung.
Sekarang sesampainya dikampung
tidak lagi sambutan denga pelukan hangat oppung
dan riangnya suara tawanya tapi saya disambut dinginnya hawa malam dan
gelapnya malam yang menyelimuti kampung ini. Sebelum memasuki desa kami
disambut oleh makam oppung, rasa takut dan khawatir dalam perjalanan hampir 1
jam dari desa sebelumnya hilang begitu melihat makam oppung di keremangan malam (karna kami, saya dan adik sepupu berjalan kaki selama 1 jam hanya diterangi
oleh rembulan. Disini belum ada lampu jalan).
Suasan di sini tidak ada yang
berubah, dinginnya pagi masih terasa di tulang, sejuknya udara menyegarkan
tenggorokan. Hanya suasana rumah yang berubah, tidak ada pertanyaan-pertanyaan
yang biasa ditanyakan oppung mengenai keadaan kami di Bekasi, tidak ada suara
oppung yang memanggil-manggil menyuruh makan dan tidak ada pelukan hangat oppung
saat tidur malamku. Sungguh aku sangat merindukan semua itu.
I love you oppung, sungguh aku sangat
sangat merindukanmu.
ketidakadaan oppung digantikan oleh tulang (paman) tulang berusaha membuat aku senang selama dikampung, selain menangkap dan memong ayamya untuk makanku tulang juga harus merekan kolam ikan di bobol padahal ikannya masih kecil-kecil. terimakasih tulang sayang.
|
mual (sungai) tempat mandi, mencuci pirang dan pakaian. |
|
hasil tangkapan dr kolam tulang :) |
|
sambal ijo buatan tulang naburju |
Tomok dan Tuktuk
Mumpung lagi dikampung, pengen
banget ke Tomok, Tuktuk. Berangkat dari simpang kawat naik bis Sejahtera,
untung masih kosong jadi dapet bangku dan bisa duduk manis. Si kernet dating mulai
minta ongkos ke penumpang, dengan polos gw nanya:
Gw : brp bang ?
si kernet jawab : seratus dek,
gw: bengong karena gak percaya
dan nanya lagi : yakin bang 1 orang ongkosnya seratus ?
jawab si kernet: ia dek.
Dengan berat hati dan berfikir
mungkin jauh banget kali yah, gw keluarin duit dua ratus ribu rupiah, gw kasih
ke abangnya dan langsung pindah duduk ke depan.
Gak berapa lama siabang nyamperin
dan ngasih uang, gw kaget tp gw terima aja (hahaha) dan si kernet bilang:
Kernet: kalo disini seratus itu
sepuluh ribu dek, katanya,,,
Gw : masa ? oh ya udah deh, makasih
yah bang kataku lagi.
Akhirnya kami kenalan, si kernet
nanya marga gw.
Kernet: boru apa dek ?
Gw: Sitohang bang, abang marga
apa ?
Kernet: Sihaloho dek
Gw: langsung ulurin tangan untuk
salaman, sambil bilang oh berari tulangku dong, mamakku boru Nadap-dap.
Kernet: pantas yah uangmu tadi ku
kembalikan, makkuling mudar kita
ternyata, katanya. (insting=darah yang berbicara kalau kita bersaudara).
Kami tertawa dan saat kami turun
si abang kernet bilang, hati-hati kalian yah dek,,,,,.
Tiga Raja
Kami nyebrang ke Tuktuk dari tiga
Raja dengan harga Rp. 10.000 per orang:, murah kan ?, sebagai informasi
tambahan, di Tuktuk ini kebanyakan
Tourist
Mancanegara di banding turis lokal. Tertu akan berpengaruh untuk harga
penginapan di sana. Apalagi kalo
High
Season semua harganya pasti naik. Jadi saran gw jika ke sana jauhi
High Season.
|
jadwal penyebrangan kapal Tiga Raja - Tomok |
Tuktuk
Tomok
|
museum Batak di Tomok |
|
baju adat batak |
Cuuuuuuus berangkat ke Tomok. Sesampainya
kami di Tomok pertama yang pengen banget gw kunjungi adalah si Gale-gale. Selain
ketemu dan bersalaman dengan si
Gale-gale di Tomok juga banyak wisata budaya lainnya yang sangat menakjubkan,
seperti : rumah adat Batak yang masih dilestarikan, makam para Raja yang terawat
dan bersih sehingga tidak seram.
|
bersalaman dengan si Gale-gale |
|
makam raja-raja di Tomok |
sebelum meninggalkan pulau samosir mampir sebentar ke Simanindo dan sisuguhkan pemandangan yang luar biasa ini. indahnyaaaaaa
|
Simanindo
|
dan sebelum pulang ke Jakarta eh bekasi deh ditutup dengan makan mie pangsit medan pake Bab* makanan paling enak sedunia, buat temen-temen yang Muslim gak boleh coba yah. bye bye c u next trip
|
mie pangsit bab* |
0 Comments